Bubur Ayam, Es Cincau hingga Bakso Keliling

Foto: gerbangbanten.co.id

Yuk, rileks! Makan siang alakadarnya dengan minumannya es teh bikinan sendiri. Gulanya gula batu. Maknyus. Setelah itu, muncul inspirasi menulis tulisan receh ini, di siang hari yang mendung, dan sempat terdengar geledek keras sekali saja. Habis itu, masih mendung dan hujan masih malu-malu mau turun ke bumi.

Tukang bubur ayam keliling. Naik motor. Beberapa hari ini berhenti sejenak tepat di depan pintu rumah saya. “Ting ting ting ting ting…. Bubur, buburrrr….” Demikian teriakan semangat penjual bubur ayam keliling.

Yang bikin saya kaget, bunyi ting ting ting itu keras sekali. Awalnya saya kesal, tapi hari berikutnya telinga saya sudah terbiasa mendengar bunyi mangkuk yang dipukul keras oleh tukang bubur ayam keliling naik motor itu. Seakan itu mengingatkan saya pada kerasnya hidup, kerasnya persoalan, yang harus disikapi dengan ketabahan dan kerja yang tak berkesudahan.

Ada juga penjual es cincau keliling. Mampir juga tepat di depan pintu rumah saya. Hanya sesekali saja berhenti sejenak lalu jalan lagi dari gang ke gang, dari jalan sempit di kampung-kampung sekitar rumah. Es cincau ini minuman yang segar, saya membelinya beberapa kali, makanya si abang penjual cincau menjadi rutin lewat di gang depan rumah saya. Itu mengingatkan saya pada ketekunan dalam berusaha, mencari nafkah, juga dalam menyapa pelanggannya, meski dengan bahasa pukulan mangkuk dan sendok…ting ting ting…tapi bukan Ayu Ting Ting.

Lain lagi penjual bakso keliling. Biasanya muncul malam hari. Sesekali ada juga sih yang siang hari gitu. Tapi kebanyakan malam hari. Tek tek tek tek…begitu suaranya, tapi ada juga yang ting ting ting ting…Saya membelinya sekali dua kali saja, dan abang tukang bakso tetap melewati jalan depan rumah, karena ada pula tetangga saya yang beli bakso di malam hari.

Jauh ingatan saya ke belakang, beberapa tahun silam, saat saya masih kerja di sebuah kantor tabloid Ibu Kota, sebelum media online menggerus media cetak. Di kantor yang terletak di daerah Jakarta Barat, beberapa tempat masih berupa kebun dengan aneka tanaman, jalan-jalan kampung pun masih ada sebagian yang gelap.

Seminggu sekali saya bekerjanya sampai malam, bersama para reporter dan anggota redaksi lainnya. Di teras kantor di malam hari, kami kadang beli nasi goreng atau makanan lain dari penjual keliling. Apa yang menarik dari para penjual nasi goreng atau bakso atau sate yang dijual keliling di malam hari. Cerita horor!

Dari beberapa penjual yang mencari nafkah di malam hari, dengan berkeliling kampung, menyusuri jalan-jalan sempit yang masih banyak kebun itu, ada cerita, yang beli ternyata hantu. “Bang, beli Bang. Bang, beli, Bang…” Penjual nasi goreng itu bukannya berhenti, tapi malah ngacir ketakutan. Hahaha… itu dulu kisah beberapa tahun silam. 

Oke, ini aja intermesonya, dengan moto, lebih baik menulis daripada bengong!


Powered by Blogger.